beranda

Saturday, February 27, 2016

KHALIFAH UMAR R.A MENANGIS TERSEDU MELIHAT RAKYATNYA KELAPARAN

KHALIFAH UMAR R.A MENANGIS TERSEDU MELIHAT RAKYATNYA KELAPARAN
Pada suatu masa dalam kepemimpinan Umar, terjadilah Tahun musim paceklik. Masyarakat Arab, mengalami masa paceklik yang lama dan berat. Hujan tiada turun dari langit, sungguh sangat gersang keadaan waktu itu. Pepohonan banyak yang mengering, gandum, kurma susah di dapatkan bahkan hampir tidak ada pohon yang menghasilkan buah dan sudah tidak terhitung hewan peliharaan yang mati mengenaskan. Tanah tempat mereka tinggal hampir menghitam seperti abu.

Putus asa mendera di mana-mana. Saat itu negri arab di pimpin oleh khalipah Umar bin Khotob r.a. sang pemimpin dan rakyatnya sedang di uji, dan khalifah Umar bin Khotob menampilkan kepribadian yang sebenar-benar kepribadian seorang pemimpin. bukan kaya pemimpin jaman sekarang yang sebagian masa bodoh dengan kondisi Rakyatnya. pada zaman khalipah Umar r.a. Keadaan rakyat diperhatikannya secara seksama. Tanggung jawabnya dijalankan sepenuh hati. Setiap hari ia menginstruksikan aparatnya menyembelih onta-onta potong dan menyebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat. Berbondong-bondong rakyat datang untuk makan. Semakin pedih hatinya. Saat itu, kecemasan menjadi kian tebal. Dengan hati gundah gulana, lidah kelunya berujar, “Ya Allah, jangan sampai umat Muhammad menemui kehancuran di tanganku ini.”

Umar menabukan makananan, seperti daging, minyak samin, dan susu untuk perutnya sendiri. niatnya Bukan apa-apa, ia menabukan makanan untuk dirinya sendiri karna khawatir makanan untuk rakyatnya tidak ada. Ia, si pemberani itu, hanya menyantap sedikit roti dengan minyak zaitun. Akibatnya, perutnya terasa panas dan kepada pembantunya ia berkata “Kurangilah panas minyak itu dengan api”. Minyak pun dimasak, namun perutnya kian bertambah panas dan berbunyi nyaring. Jika sudah demikian, ditabuh perutnya dengan jemari seraya berkata, “Berkeronconglah sesukamu, dan kau akan tetap menjumpai minyak, sampai rakyatku bisa kenyang dan hidup dengan wajar.”

Hampir setiap malam Umar bin Khattab sering melakukan perjalanan diam-diam mengelilingi wilayah negrinya. dengan diitemani salah seorang sahabatnya, ia masuk keluar kampung. Ini ia lakukan untuk mengetahui kehidupan rakyatnya. Umar khawatir jika ada hak-hak mereka yang belum ditunaikan oleh aparat pemerintahannya.

Malam itu pun, bersama Aslam, Khalifah Umar berada di suatu kampung terpencil. Kampung itu berada di tengah-tengah gurun yang sepi. Saat itu Khalifah terperanjat. Dari sebuah kemah yang sudah rombeng, terdengar seorang gadis kecil sedang menangis berkepanjangan. Umar bin Khattab dan Aslam bergegas mendekati kemah itu, siapa tahu penghuninya membutuhkan pertolongan mendesak.

Setelah dekat, Umar melihat seorang perempuan tua tengah menjerangkan panci di atas tungku api. Asap mengepul-ngepul dari panci itu, sementara si ibu terus saja mengaduk-aduk isi panci dengan sebuah sendok kayu yang panjang.

“Assalamu’alaikum,” Umar memberi salam.
Mendengar salam Umar, ibu itu mendongakan kepala seraya menjawab "Wa'alaikum salam." Tapi setelah itu, ia kembali pada pekerjaannya mengaduk-aduk isi panci.
Umar berkata “Bolehkah aku mendekat?”
Ibu itu berkata “Apabila untuk tujuan baik maka tidak mengapa, apabila tidak maka menjauhlah.”
“Siapakah gerangan yang menangis di dalam itu?” tanya Umar.
Dengan sedikit tak peduli, ibu itu menjawab, “Anakku….”
Umar berkata “Mengapa mereka menangis?”
Ibu itu berkata “Kami disini karena cuaca sangat dingin dan kelaparan.”
Umar dan Aslam tertegun. Mereka masih tetap duduk di depan kemah sampai lebih dari satu jam. Gadis kecil itu masih terus menangis. Sedangkan ibunya terus mengaduk-aduk isi pancinya.

Umar tidak habis pikir, apa yang sedang dimasak oleh ibu tua itu? Sudah begitu lama tapi belum juga matang. Karena tak tahan, akhirnya Umar berkata, “Apa yang sedang kau masak, hai Ibu? Kenapa tidak matang-matang juga masakanmu itu?”
Ibu itu menoleh dan menjawab, “Silahkan kau lihat sendiri!”

Umar dan Aslam segera menjenguk ke dalam panci tersebut. Alangkah kagetnya ketika mereka melihat apa yang ada di dalam panci tersebut. Sambil masih terbelalak tak percaya, Umar berteriak, “Apakah kau memasak batu?”
Perempuan itu menjawab dengan menganggukkan kepala.
“Buat apa?”
Dengan suara lirih, perempuan itu kembali bersuara menjawab pertanyaan Umar, “Aku memasak batu-batu ini untuk menghibur anakku. Inilah kejahatan Khalifah Umar bin Khattab. Ia tidak mau melihat ke bawah, apakah kebutuhan rakyatnya sudah terpenuhi belum. Lihatlah aku. Aku seorang janda. Sejak dari pagi tadi, aku dan anakku belum makan apa-apa. Jadi anakku pun kusuruh berpuasa, dengan harapan ketika waktu berbuka kami mendapat rejeki. Namun ternyata tidak. Sesudah magrib tiba, makanan belum ada juga. Anakku terpaksa tidur dengan perut yang kosong. Aku mengumpulkan batu-batu kecil, memasukkannya ke dalam panci dan kuisi air. Lalu batu-batu itu kumasak untuk membohongi anakku, dengan harapan ia akan tertidur lelap sampai pagi. Ternyata tidak. Mungkin karena lapar, sebentar-sebentar ia bangun dan menangis minta makan.”

Ibu itu diam sejenak. Kemudian ia melanjutkan, “Namun apa dayaku? Sungguh Umar bin Khattab tidak pantas jadi pemimpin. Ia tidak mampu menjamin kebutuhan rakyatnya.”
Mendengar penuturan si Ibu seperti itu, Aslam akan menegur perempuan itu. Namun Umar sempat mencegah. Umar berkata “Bagaimana mungkin dia bertanggung jawab atas urusan kita tapi malah menelantarkan kita? Dia adalah pemimpin kita, dia bertanggung jawab atas urusan kita, seharusnya dia tahu.”

Dengan air mata berlinang ia bangkit dan mengajak Aslam cepat-cepat pulang ke Madinah. Tanpa istirahat lagi, Umar segera memikul gandum di punggungnya, untuk diberikan kepada janda tua yang sengsara itu.
Karena Umar bin Khattab terlihat keletihan, Aslam berkata, “Wahai Amirul Mukminin, biarlah aku saja yang memikul karung itu.”

Dengan wajah merah padam, Umar menjawab, “Aslam, jangan jerumuskan aku ke dalam neraka. Engkau akan menggantikan aku memikul beban ini, apakah kau kira engkau akan mau memikul beban di pundakku ini di hari pembalasan kelak?”
Aslam tertunduk. Ia masih berdiri mematung, ketika terseok-seok Khalifah Umar bin Khattab berjuang memikul karung gandum menuju ke tempat wanita dan anak-anaknya yang sedang kelaparan. Ketika sampai di tempat wanita tersebut kemudian khalifah Umar meletakkan karung berisi gandum dan beberapa liter minyak samin ke tanah, kemudian memasaknya.
Aslam yang meriwayatkan kisah ini berkata "Aku melihat Umar bin Khatab membungkuk untuk meniup api di bawah pancinya, dan aku melihat asap menerpa jenggotnya.”
Tatkala gandum tersebut sudah masak Khalifah Umar meminta sang ibu membangunkan anaknya.
“Bangunkanlah anakmu untuk makan.”
Anak yang kelaparan tersebut bangun dan makan dengan lahapnya. Umar bin Khatab dan Aslam pun tetap disana sampai anak tersebut kembali tertidur dengan perut yang telah kenyang.

Ibu itu berkata, “Terimakasih, semoga Allah membalas perbuatanmu dengan pahala yang berlipat. Kau lebih berhak menjadi khalifah daripada Umar bin Khatab!"

“Jangan berkata kecuali yang baik, dan jika pada suatu hari kau menemui khalifah, maka kau akan menemukanku disana.", jawab Umar.

Sebelum pergi, khalifah Umar berkata kepada wanita tersebut untuk datang menemui khalifah Umar bin Khattab ra, karena khalifah akan memberikan haknya sebagai penerima santunan negara.
Esok harinya pergilah wanita tersebut ke tengah kota Madinah untuk menemui khalifah Umar bin Khattab ra, dan tatkala wanita tersebut bertemu dengan khalifah Umar, betapa terkejutnya wanita tersebut bahwa khalifah Umar adalah orang yang memanggulkan dan memasakkan gandum tadi malam.
Mudah2n pemimpin negeri ini kedepannya ada yang seperti khalifah Umar r.a.
amiiiin

No comments:

Post a Comment