beranda

Saturday, July 26, 2014

PENGHIDUP HATI YANG HAKIKI

PENGHIDUP HATI YANG HAKIKI

Sesungguhnya dzikir adalah penghidup hati yang hakiki. Dzikir merupakan makanan pokok bagi hati dan ruh. Apabila (jiwa) seseorang kehilangan dzikir ini, maka ia hanya bagaikan seonggok jasad yang jiwanya telah kehilangan makanan pokoknya. Sehingga tidak ada kehidupan yang hakiki bagi sebuah hati, melainkan dengan dzikrullah (mengingat Allah). Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata [9] : "Dzikir bagi hati, bagaikan air bagi seekor ikan. Maka, bagaimanakah keadaan seekor ikan jika ia berpisah dengan air?”[10]


maka sesungguhnya penawar dan obat bagi orang yang hatinya gersang dan selalu gelisah, resah, dan gundah, melainkan hanya dengan dzikrullah. Karna hati yang kita miliki sesungguhnya ada dalam penguasaan Allah Swt  maka sungguh tidak mungkin sebuah hati akan mendapat ketenangan kecuali berhubungan dan selalu mengingat penciptanya.

Dzikrullah dapat dilakukan dengan dua cara, dengan mengingat Allah dan banyak berdzikir dengan bertasbih, bertahmid, bertahlil (mengucapkan Laa ilaha illallaah), ataupun bertakbir. Dan dengan memahami makna-makna al Qur`an dan hukum-hukumnya; karena di dalam al Qur`an terdapat dalil-dalil dan petunjuk-petunjuk yang jelas, serta bukti kebenaran yang nyata.[11]

Namun, yang amat disayangkan, masih banyak kaum Muslimin yang belum memahami hal ini. Bahkan, untuk mendapatkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa, justru mencari-cari solusi selainnya. Padahal kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa yang hakiki tidaklah mungkin dihasilkan melainkan hanya dengan dzikrullah.

Al Imam al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “…Sesungguhnya, hati tidak akan (merasakan) ketenangan, ketenteraman, dan kedamaian, melainkan jika pemiliknya berhubungan dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala (dengan melakukan ketaatan kepadaNya)… sehingga, barangsiapa yang tujuan utama (dalam hidupnya), kecintaannya, rasa takutnya, dan ketergantungannya hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, maka ia telah mendapatkan kenikmatan dariNya, kelezatan dariNya, kemuliaan dariNya, dan kebahagiaan dariNya untuk selama-lamanya”. [12]

Penjelasan beliau ini, juga menujukkan pemahaman, bahwa jika seseorang meninggalkan ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, atau bahkan bermaksiat kepadaNya, maka hatinya akan sempit, gersang, selalu gelisah, resah, dan gundah [13]. Adapun kemaksiatan yang terbesar adalah syirik, dan Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik sampai ia bertaubat sebelum ia mati. (Lihat an Nisaa`/4 : 48 dan 116). Juga Allah berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكاً وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

"Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatanKu, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta". [Thaha/20 : 124].

Salah satu penafsiran ulama tentang lafazh (
مَعِيشَةً ضَنكاً) pada surat Thaha ayat ke-124 di atas adalah, kehidupan yang sangat sempit dan menyulitkan di dunia ini, disebabkan berpalingnya ia dari kitabullah 

dan dzikrullah. Ia akan merasakan kesempitan, kegelisahan, dan kepedihan-kepedihan lainnya dalam kehidupannya, dan itu adalah adzab secara umum.[14]

Adapun kadar kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa seseorang, itu sangat bergantung kepada sejauh mana kedekatannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Al Imam al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan : “Kelezatan (yang dirasakan oleh hati) setiap orang, bergantung pada sejauh mana keinginannya dalam mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan (keinginannya dalam meraih) kemuliaan dirinya. Orang yang paling mulia jiwanya, yang paling tinggi derajatnya dalam merasakan kelezatan (dalam hatinya), adalah (orang yang paling) mengenal Allah, yang paling mencintai Allah, yang paling rindu dengan perjumpaan denganNya, dan yang paling (kuat) mendekatkan dirinya kepadaNya dengan segala hal yang dicintai dan diridhai olehNya”. [15]

Itulah dzikrullah dan tha’atullah, sebagai kunci utama untuk membuka hati seseorang dalam merealisasikan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwanya. Sedangkan tingkatan tha’atullah yang paling tinggi dan agung adalah tauhidullah (mentauhidkan Allah). Dan (sebaliknya), tingkatan maksiat yang paling besar dosanya dan paling buruk akibatnya, adalah asy syirku billah (menyekutukan Allah Subhanahu wa Ta'ala). Dengan kata lain, orang yang paling berbahagia, tenteram, dan tenang jiwanya adalah seorang muslim yang bertauhid dan merealisasikan tauhidnya dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan orang yang paling sengsara hidupnya di dunia ini, dan tidak merasakan kebahagiaan, ketenangan, dan ketenteraman jiwa yang hakiki dan abadi, adalah orang yang musyrik dan bermaksiat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala [15].

Kemudian, adakah hal lainnya setelah dzikrullah dan tha’atullah yang secara khusus mampu mendatangkan kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwa seseorang? Jawabnya, ada. Yaitu shalat.

Hendaknya seorang mukmin menyibukkan dirinya untuk meraih kepuasan hati, ketenteraman hidup dan ketenangan jiwanya dengan melakukan shalat secara benar dan khusyu’. Dengan demikian, ia merasa tenang ketika berhadapan dengan Rabb-nya. Hatinya menjadi tenteram, lalu diikuti ketenangan dan ketenteraman tersebut oleh seluruh anggota tubuhnya. Dari sini, ia akan merasakan kedamaian hati dan ketenangan jiwa yang luar biasa. Dia memuji Rabb dengan segala macam pujian di dalam shalatnya. Bahkan, ia berkata kepada Rabb-nya
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ (hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan). Dia memohon kepada Rabb-nya segala kebutuhannya. Dan yang terpenting dari seluruh kebutuhannya adalah memohon untuk istiqamah (konsisten) di atas jalan yang lurus. Yang dengannya terwujudlah kebahagiaan di dunia dan akhirat. Dia pun berkata اِهْدِنَا الصِّرَاطَ المُستَقِيمَ (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Dia mengagungkan Rabb-nya saat ruku’ dan sujud, dan memperbanyak doa di dalam sujudnya.

Betapa indah dan agungnya komunikasi yang ia lakukan dengan Rabb-nya. Sebuah komunikasi yang sangat luar biasa, mampu menumbuhkan ketenteraman dan kedamaian jiwa, sekaligus menjauhkan dirinya dari segala macam kegelisahan, keresahan, dan kesempitan hati dan jiwanya. Maka, tidak perlu heran, jika shalat ini merupakan penghibur dan penghias hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. 
 


Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

...
وَجُعِلَتْ قُـرَّةُ عَـيْـنِيْ فِي الصَّـلاَةِ .

"…dan telah dijadikan penghibur (penghias) hatiku (kebahagiaanku) pada shalat".[17]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah berkata kepada salah satu sahabatnya:

قُمْ يَا بِلاَلُ، فَـأَرِحْـنَا بِالصَّلاَةِ .

"Bangunlah wahai Bilal, buatlah kami beristirahat dengan (melakukan) shalat".[18]

Al Imam al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah, setelah menjelaskan hikmah-hikmah dan beberapa keistimewaan shalat, beliau berkata : “… Kemudian, disyariatkan baginya untuk mengulang-ulang raka’at ini satu per satu, sebagaimana disyariatkannya mengulang-ulang (lafazh) dzikir dan doa satu per satu. Hal itu agar ia mempersiapkan dirinya dengan raka’at yang pertama tadi, untuk menyempurnakan raka’at yang berikutnya. Sebagaimana raka’at yang kedua untuk menyempurnakan raka’at yang pertama. Semuanya itu bertujuan untuk memenuhi hatinya dengan makanan (rohani) ini, dan mengambil bekal darinya untuk mengobati penyakit yang ada dalam hatinya. Karena sesungguhnya kedudukan shalat terhadap hati, bagaikan kedudukan makanan dan obat terhadapnya… Maka, tidak ada satu pun yang mampu menjadi makanan dan bagi hatinya, selain shalat ini. Maksudnya, (fungsi) shalat dalam menyehatkan dan menyembuhkan hati, seperti (fungsi) makanan pokok dan obat-obatan terhadap badannya".[19]

Dr. Hasan bin Ahmad bin Hasan al Fakki berkata,"Tatkala shalat dijadikan sebagai pembangkit ketenangan dan ketenteraman (jiwa), serta sebagai terapi psikologis, maka, tidak mengherankan jika sebagian dokter jiwa menganggapnya sebagai terapi utama dalam penyembuhan para pasien penyakit jiwa. Salah seorang di antara mereka ada yang mengatakan, sepertinya shalat ini salah satu terapi yang mampu mendatangkan kehangatan jiwa manusia. Sesungguhnya shalat bisa menjauhkan dirimu dari segala kesibukan yang membuatmu gundah dan resah. Shalat ini pun mampu membuatmu merasa tidak menyendiri dalam hidup ini. Mampu membuatmu merasakan bahwa Allah menyertaimu. Shalat pun ternyata mampu memberimu kekuatan dalam bekerja, yang sebelumnya dirimu tidak mampu berbuat apa-apa. Maka, pergilah ke kamar tidurmu! Lalu, mulailah melakukan shalat untuk menghadap Rabb-mu”.[20]

Demikianlah, sehingga memang shalat yang benar dan khusyu’, pasti akan melahirkan ketenteraman jiwa dan kedamaian hati. Bukan seperti shalat yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani, yang telah disifatkan oleh al Imam al ‘Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah sebagai sebuah shalat yang pembukaannya adalah kenajisan, takbiratul ihramnya dengan bersalib di wajah, qiblatnya sebelah timur, syi’arnya adalah kesyirikan, (maka) bagaimana hal ini tersembunyi bagi orang berakal, bahwa hal ini sesuatu yang memang tidak pernah dibenarkan oleh satu syariat manapun? [21]




Dr. Hasan bin Ahmad bin Hasan al Fakki kembali menjelaskan : “Adapun sebuah shalat yang permulaannya adalah pengagungan dan pemuliaan terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan shalat ini mengandung firmanNya, pujian dan pengagungan kepadaNya, rasa tunduk yang sempurna si pelakunya kepada Rabbnya, maka tidak ragu lagi, shalat seperti inilah yang mampu menjadi perantara seorang hamba dalam berkomunikasi dengan Rabb-nya. Shalatnya ini bermanfaat baginya untuk memohon kepada Rabb agar (Dia) membebaskan dari segala kesulitan. Di samping itu, ia pun akan mendapatkan manfaat dan pahala yang besar di akhirat, serta kemenangan dengan mendapatkan ridha ar Rahman (Allah Subhanahu wa Ta'ala). Dan kiaskanlah terhadap shalat ini seluruh ketaatan hamba terhadap Rabb-nya. Sungguh agama Islam adalah sebuah manhaj (metode, tata cara dan pola hidup) yang sempurna, yang sangat adil. Menjamin setiap orang bisa mencapai hidup bahagia di dunia dan akhirat. Dan ini sebagai sebuah kemenangan yang besar”.[22]

Demikianlah, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua, bisa menambah iman, ilmu, dan amal shalih kita. Wallahu a’lam bish shawab.

No comments:

Post a Comment